-->

Memberikan Contoh Kepada Anak



Kadangkala  sebagai orang tua kita terjebak dalam situasi dimana ada saat-saat paling krusial antara kita dan anak-anak, sewaktu anak-anak banyak bertingkah, mulai memancing-mancing emosi kita, bahkan sampai mengaduk-aduk perasaan kita, ada keinginan dalam hati kita untuk membalas “kejahatan” mereka. Mungkin dalam benak kita bersarang beraneka macam pertanyaan; “buat apa aku harus capek-capek memikirkan perasaan mereka, toh mereka tak peduli dengan perasaanku. ” Namun sayang, sebagai orang tua kita tidak bisa berlarut-larut dengan pikiran semacam itu. merawat anak-anak adalah tugas kita dan cara melaksanakan tanggung jawab itu adalah dengan mencoba memahami perasaan mereka (berempati).

Kita ingin mereka memahami dan peka akan kondisi perasaan kita, namun semua itu hanya akan terjadi jika kita memberi teladan dan berempati kepada mereka.
“Berempati bukan berarti kita setuju dengan tindakan seseorang, tetapi bahwa kita sepenuhnya, secara mendalam mengerti orang tersebut secara emosional dan intelektual.”
Itu berarti saat kita mendengarkan keluhan, rengekan, atau bahkan kata-kata anak  yang bercampur nada marah, kita dituntut untuk mendengarkannya tidak hanya sekedar dengan telinga, tetapi akan lebih penting lagi kita mendengarkannya dengan mata dan hati kita. Hadapkan posisi tubuh kita tepat di depannya, tataplah retina matanya dengan penuh ketulusan, tangkaplah nada bicaranya disamping muatan ucapannya, dan kemudian cermati ungkapan non verbalnya (bahasa tubuh). Dengan ini anak akan merasa kita sebagai pelabuhannya yang menyejukkan disaat emosinya bergolak, anak akan merasa tengah menemukan sosok sebagai panutannya yang mampu memahami dan meredam emosinya.
Mungkin kita mendapati diri kita mengatakan “kita telah kalah” tidak, sesungguhnya kita tidak kalah. Melainkan kita adalah pemenangnnya, karena disaat yang bersamaan dimana kita mampu membalas perbuatan anak yang menjengkelkan, kita justru bertindak bijaksana layaknya orang tua yang selalu mengharap kebaikan tertanam dalam diri anak.
Jika kita bersedia mengerti terlebih dahulu perasaan anak,  meskipun kita tahu bahwa anaklah yang bersalah - berarti kita telah berhasil menekan sedemikian rupa supaya ego kita tidak muncul ke permukaan, itu artinya kita telah mengadakan pertahanan yang sangat baik.
Apa sebenarnya tujuan orang tua dan pendidik ketika memberikan hukuman kepada anak? Jangan dikira ini persoalan ringan, karena ternyata masih banyak orang yang menghukum anak dengan tujuan yang salah. Bahkan ada yang menghukum anak hanya sebagai pelampiasan emosi sesaat saja.
Kesalahan yang paling sering dilakukan orang tua dan pendidik adalah ketika mereka menghukum anak disertai dengan emosi kemarahan. Atau bahkan emosi kemarahan itulah yang menjadi penyebab timbulnya keinginan untuk menghukum. Dalam kondisi ini, tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman yang menginginkan adanya penyadaran agar anak tak lagi melakukan kesalahan, menjadi tak lagi efektif.
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sang manusia terbaik yang memberikan arahan kepada kita sebagai orang tua dan pendidik dalam menjalankan hukuman agar tepat dan memberikan kemaslahatan bagi semua.
1.      Menunjukkan kesalahan dengan pengarahan secara langsung.
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Umar bin Abu Salamah radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Saya berada dalam asuhan Rasulullah SAW . (Ketika makan) Tanganku berkeliaran di piring makanan. Lalu beliau bersabda, “(yang artinya) Hai anak muda, sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah yang dekat denganmu!” Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan kesalahan Umar bin Abu Salamah radhiyallahu anhuma dengan memberinya nasehat yang baik dan pengarahan yang ringkas serta sederhana, namun tepat mengenai sasaran.
2.      Menunjukkan kesalahan dengan cara yang halus.
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sa’d radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah  pernah disajikan minuman, beliau meminum sebagiannya. Sementara di samping beliau ada seorang anak muda, dan di sebelah kanan beliau ada beberapa orang tua. Beliau bertanya kepada anak muda itu, “Apakah engkau mengizinkan aku memberikan minuman ini kepada orang-orang ini?”. Anak muda itu menjawab, ‘Tidak demi Allah. Saya tidak ingin mementingkan orang lain selain dirimu dari bagianku.”.
Maka beliau meletakkan gelas minuman di tangannya. Anak muda itu adalah Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Menurut pengamatan saya, beliau hendak mengajarkan kepada anak muda itu adab di hadapan orang-orang tua, dengan mendahulukan mereka tatkala mereka minum. Ini lebih baik. Untuk itu beliau meminta izin kepadanya dan secara halus beliau bertanya, “Apakah engkau mengizinkan aku memberikan minuman ini kepada orang-orang itu?”
3.      Menunjukkan kesalahan dengan isyarat.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu  Abbas radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Suatu kali Al-Fadhl (bin Abbas) dibonceng kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Lalu ada seorang wanita dari Khats’am. Al-Fadhl memandang wanita itu dan wanita itu memandangnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memalingkan muka Al-Fadhl ke arah lain.
Menurut pengamatan saya, beliau memberikan solusi pandangan mata kepada wanita bukan mahram dengan memalingkan muka ke arah lain, dan ternyata hal itu sangat berpengaruh kepada Al-Fadhl.
4.      Menunjukkan kesalahan dengan menggunakan pukulan
Abu Dawud dan Al-Hakim meriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Perintahkanlah anak-anak kalian mengerjakan shalat sedang mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena shalat itu selagi mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” Dalam surat An-Nisa’ disebutkan:
“Wanita-wanita yang dikhawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri mereka  dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An-Nisa’:34)
Hukuman pukulan merupakan ketatapan Islam, yang merupakan tahapan terakhir setelah pemberian nasehat dan isolasi. Ini merupakan urutan-urutan yang memberikan pengertian kepada pendidik, bahwa tidak boleh langsung menggunkan cara yang paling keras jika cara yang sederhana dan ringan sudah efektif. Pukulan merupakan hukuman terakhir dan tidak boleh langsung menggunakannya kecuali setelah tidak ada harapan menggunakan cara-cara lain untuk membenahi.
Tetapi tatkala Islam menetapkan hukuman pukulan, maka hukuman ini berurutan sebagai berikut:
  1. Pendidik tidak boleh langsung menggunakan pukulan sebelum menggunakan cara-cara hukuman yang lain dan ancaman.
  2. Tidak boleh memukul tatkala amarah sedang memuncak, karena dikhawatirkan akan membahayakan anak.
  3. Tidak boleh memukul bagian-bagian yang rawan, seperti kepala, wajah, dada dan perut, yang didasarkan kepada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, (yang Artinya) ”Janganlah memukul wajah!” Sebab wajah merupakan pusat indera, sehingga jika pukulan mengenai wajah, dikhawatirkan bisa merusak fungsi indera, sehingga pukulan itu bisa menyakitinya. Pukulan pada bagian dada dan perut juga dilarang, Karena pukulan pada bagian ini bisa membawa kematian. Larangan ini masuk dalam keumuman sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak ada yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.”
  4. Pendidik sendiri yang harus memukul anak dan tidak boleh mewakilkannya kepada orang lain, seperti kepada saudaranya atau temannya, agar tidak ada percikan dendam dan perselisihan di antara mereka.
Pukulan pada kali pertama tidak boleh keras dan menyakitkan, bisa pada bagian kaki atau tangan, dengan menggunakan tongkat yang kecil.
Jika kesalahan baru pertama kali dilakukan anak, maka dia diberi kesempatan untuk bertaubat dan kesalahannya dimaafkan, memberinya kesempatan untuk bergaul dengan orang-orang yang bisa memberi pengarahan kepadanya.
5.      Menunjukkan kesalahan dengan ancaman yang keras.
Allah Ta’ala berfirman,
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (An-Nuur: 2).
Arah hukuman ini, jika hukuman dilaksanakan di muka umum dan disaksikan anggota masyarakat, maka benar-benar akan menjadi pelajaran yang paling pas dan merupakan peringatan yang amat kuat. Berangkat dari tatanan Al-Qur’an ini (Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman), nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para sahabatnya untuk melaksanakan hukuman pelanggaran hukum syari’at yang sudah jelas di hadapan orang-orang, disaksikan dan didengar semua orang. Ada pepatah lama mengatakan, “Orang yang berbahagia ialah jika bisa mengambil pelajaran dari orang lain.”
Tidak dapat diragukan , tatkala seorang pendidik menghukum anak yang melakukan suatu kesalahan di hadapan saudara-saudara dan teman-temannya, maka hukuman ini akan meninggalkan bekas yang mendalam di dalam diri anak-anak itu, sehingga mereka harus berpikir seribu kali untuk melakukan tindak kejahatan , karena mereka juga akan menerima hukuman serupa. Dengan begitu mereka bisa mengambil pelajaran dan pengalaman darinya.
Berangkat dari cara-cara yang diletakkan pengajar pertama ini, seorang pendidik bisa memilih mana cara yang paling tepat untuk mendidik anak dan membenahi penyimpangannya. Sebab adakalanya solusinya cukup hanya dengan ancaman yang keras, pandangan mata yang menusuk tajam atau halus, atau dengan menggunakan isyarat.
Jika pendidik tahu bahwa pengungkapan kesalahan dengan menggunakan salah satu di antara cara-cara ini tidak efektif untuk memperbaiki anak, maka dia bisa meningkat ke cara berikutnya yang lebih keras, yaitu hardikan. Jika hasilnya nihil, dia bisa menggunakan pukulan yang tidak menyakitkan. Ada baiknya hukuman yang terakhir ini dilakukan di hadapan para keluarga atau teman-temannya, agar mereka juga bisa mengambil pelajaran.
Selagi anak merasa bahwa pendidik bersikap lemah lembut dan mengasihaninya setelah memberikan hukuman, tindakannya itu dilakukan karena hendak menjadikannnya orang yang baik, maka dia juga tidak boleh menyimpang lagi dan harus introspeksi diri atas kekurangan pada dirinya. Ada baiknya jika kemudian dia bergaul dengan orang-orang yang baik dan bertaqwa, agar dia senantiasa berada dalam komunitas orang-orang yang baik.
Dari sini jelaslah bahwa pendidikan  Islam sangat memperhatikan masalah hukuman, entah berupa hukuman spiritual maupun material. Hukuman yang diberikan juga tak lepas dari syarat dan batasan. Maka pendidik tidak boleh melanggarnya dan tidak boleh berlebih-lebihan, jika memang mereka menginginkan pendidikan yang ideal bagi anak-anak dan agar menjadi generasi yang baik.
Akhirnya, seorang  pendidik tentunya tidak kehabisan akal dan sarana untuk memperingatkan anak dan memperbaikinya. Sarana-sarana seperti yang sudah dijelaskan di atas, merupakan sarana yang paling penting dalam pendidikan. Di sini seorang pendidik harus pandai-pandai mempergunakannya dan memilih mana yang paling tepat. Tidak dapat diragukan bahwa sarana-sarana ini tidak bisa dianggap sama. Sebab ada di antara anak yang cukup hanya dengan isyarat dan hatinya sudah bergetar. Sebagian lain ada yang perlu menggunakan ancaman. Yang lain ada yang perlu menggunakan cara isolasi, hardikan, pukulan dengan tongkat.
Islam mensyari’atkan hukuman-hukuman ini dan menganjurkan para pendidik agar menggunakannya. Kita hanya perlu memilih mana yang dianggap tepat dan bisa memberikan kemaslahatan bagi anak.
Wallahu ‘alam.