Jual beli merupakan sesuatu yang diperbolehkan dalam Islam. Dalam sebuah ayat Allah berfirman, "...Allah telah menghalalkan jual beli..." (QS 2:275). Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasullah pernah menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu berdagang (al-hadits). Ini artinya aktivitas dagang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Melalui jalan inilah, pintu-pintu rezeki akan dapat dibuka sehingga karunia Allah terpancar daripadanya.
Namun perlu
disadari bahwa jual beli yang dihalalkan oleh Allah yaitu yang dilakukan sesuai
dengan tuntunan ajaran Islam.
Hukum asal mu'amalah itu adalah al-ibaahah
(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya. Meski demikian, bukan berarti
tidak ada rambu-rambu yang mengaturnya. Ada perangkat atau ketentuan tertentu
yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak melakukan aktifitas jual
beli.
Diantara
komponen tersebut adalah memperhatikan masalah akad. Yang membedakan ada
tidaknya unsur Riba dan Gharar (penipuan) dalam sebuah transaksi adalah
terletak pada akadnya. Sebagai contoh adalah akad murabahah dan pinjaman bunga
dalam bank konvensional. Secara hitungan matematis, boleh jadi keduanya sama.
Misalnya,
seseorang membutuhkan sebuah barang dengan harga pokok Rp 1000. Jika ia pergi
ke bank Syariah dan setuju untuk mendapatkan pembiayaan dengan pola murabahah,
dengan marjin profit yang disepakatinya 10%, maka secara matematis, kewajiban
orang tersebut adalah sebesar Rp 1100. Jika ia memilih bank konvensioanl, yang
menawarkan pinjaman dengan bunga sebesar 10%, maka kewajiban yang harus ia
penuhi juga sebesar Rp 1100. Namun demikian, transaksi yang pertama (murabahah)
adalah halal,sedangkan yang kedua adalah haram. Perbedaannya adalah terletak
pada faktor akad.
Beberapa
sistem akad muamalah dikenal dalam Islam meliputi, pertama sistem murabahah.
Jika akadnya murabahah , maka harus jelas barang apa yang diperjual belikan dan
berapa marjin profit yang disepakati. Murabahan adalah menjual suatu barang
dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan
harga yang lebih sebagai laba. Misalnya A membeli produk dari pabrik. Kemudian
A menjual kepada B dengan mengatakan , " Saya menjual produk ini kepada
anda dengan harga Rp 11.000,-. Harga pokoknya Rp 10.000,- dan saya ambil
keuntungan Rp 1.000,-. Selanjutnya B tidak dapat langsung bertransaksi
dengan pabrik. Jika B mau menjual kepada C, maka prosesnya sama dengan A
(keuntungan yang hendak diambil terserah kepada B).
Kedua,
Sistem mudharabah. Jika akadnya mudarabah, maka harus jelas jenis usahanya,
siapa yang bertindak sebagai rabul maal (pemilik modal) dan mudarib-nya
(pengelola usaha), serta bagaimana rasio bagi hasilnya. Mudharabah adalah Akad
kerjasama suatu usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (malik, shahib
al-maal, LKS) menyediakan seluruh modal sedang di pihak kedua ('amil, mudharib,
nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara
mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Jika ada keuntungan,
ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal , sedangkan
kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab dalam mudharabah berlaku hukum
wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta
atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990:152). Namun
demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena
kesengajaan nya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh
pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarikat fi asy-Syaria'ah al Islamiyayyah, 2/66).
Mudharabah sendiri terdiri dari dua sitem yaitu muqhthalaqah dan yang kedua
muqayyadah. Mudhorobah muthlaqoh adalah kontrak mudhorobah yang tidak memiliki
ikatan tertentu. Sedangkan muqoyyadah pada akadnya dicantumkan
persyaratan-persyaratan tertentu.
Ketiga,
sistem musyarajkah. Jika akadnya adalah musyarakah, maka harus jelas jenis
usahanya, berapa rasio berbagi keuntungan dan kerugiannya, dan bagaimana
kontribusi terhadap aspek manajemennya. Musyawarah adalah akad kerjasama antara
dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu, di mana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Misalnya X bekerja sama dengan A
untuk menjual produknya. Dalam kesepakatan, X menyediakan barang, sedangkan A
menanggung biaya transportasi pemasaran. Selanjutnya hak masing-masing dibagi
sesuai dengan kesepakatan.
Adab-Adab Berdagang
Islam
menggariskan beberapa adab untuk diamalkan ketika berniaga. Adab ini bertujuan
untuk menghindari kesalahpahaman dan penipuan dalam berdagang. Diantara
adab-adab tersebut antara lain:
a. Amanah, artinya penjual dan pembeli sama-sama
bersikap jujur. Misalkan penjual tidak boleh mencampur buah-buahan yang lama dengan
yang baru dan menjualnya dengan harga yang sama. Demikian juga pembeli harus
bersikap jujur jika ada kelebihan pengembalian uang.
b. Ihsan. Yang dimaksud ihsan adalah menjalankan
perdagangan dengan memepertimbangkan aspek kemaslahatan dan keberkahan dari
Allah SWT, selain mendapat keuntungan.
c. Bekerjasama. Penjual dan pembeli hendaklah
bermusyawarah sekiranya timbul masalah yang tidak diinginkan.
d. Tekun. Perdagangan hendaklah dilakukan dengan tekun
dan bersunguh-sungguh agar berkembang maju.
e. Menjauhi perkara yang haram. Penjual hendaklah
menjauhi perkara yang haram selama menjalankan perniagaan. Contohnya menipu
dalam timbangan, menjalankan muamalat riba, dan menjual barang yang diharamkan.
f. Melindungi penjual dan pembeli.Penjual dan pembeli
hendaklah saling melindungi hak masing-masing. Contohnya penjual memberikan
peluang yang secukupnya kepada pembeli untuk melihat pilihan ketika hendak
membeli sesuatu barang.
Demikianlah
beberapa adab dalam berdagang sehingga tercipta masyarakat yang haramoni dan
sejahtera dan mendapat ridha dari Allah SWT.
Semoga
ringkasan sedikit yang kami cantumkan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.